The Sweet Aroma of Lavazza


Lavazza? Hanya laki-laki melankolis yang minum Lavazza.”

Masih teringat jelas dalam ingatanku, Diyan. Kau datang mengejarku untuk kedua kalinya ke bandara. My flight was delayed and i went to a lounge to have coffee. Secangkir Lavazza yang kupesan kala itu, entah mengapa, bukan black coffee yang biasa kuminum tapi justru espresso kesukaanmu.

Mungkin itu bentuk ucapan perpisahan yang tidak sempat kusampaikan. Atau lebih tepatnya, tidak berani kusampaikan. Atau mungkin sesungguhnya dalam hatiku yang terdalam, aku tidak ingin pergi. But did i have a choice that time?

I’m not quite fond of Lavazza. Brand kopi klasik Italia itu penuh tumpukan lapisan rasa. Meminum Lavazza seperti berhadapan denganmu: complicated. Tapi toh aku jatuh cinta juga padamu. Dan saat itu di bandara, aku membuai diri dalam wangi Lavazza di hadapanku. Aroma dirimu.

Lucu. Aku tidak terkejut saat kau menemukanku di dalam lounge itu. Pasti gadis itu yang memberitahu kepergianku, padahal aku ingin pergi tanpa kau ketahui. Dan aku memberanikan diri untuk menatapmu, tetapi emosi yang kauperlihatkan lewat kedua matamu tidak dapat kumengerti.

Delay?” kau bertanya. Aku hanya tersenyum pahit, lalu kau memesan black coffee.

“Kau suka black coffe sekarang?” aku balik bertanya setelah melepaskan tawa kecil yang hambar.

“Kau sudah menggantikanku minum espresso,” jawabmu penuh canda dan kita berdua sama-sama tertawa.

Tidak lama. Dengan cepat tawa itu menghilang dan kembali kita saling menatap dalam diam, sampai aku hampir bisa mendengar setiap ucapan yang dilontarkan dalam keramaian lounge. Entah apa yang sedang kaupikirkan tapi aku punya satu pertanyaan yang takut kuketahui jawabannya.

Apakah kau datang untuk mencegahku pergi? Atau untuk melepaskanku?

“Jika kita sudah lebih dewasa, Diyan, saat ambisi dan harga diri tidak ada lagi di antara kita. Apakah kita masih bisa bersama?”

Kala itu tidak akan kubiarkan kau menjawab karena aku tidak ingin mendengar penolakan dari bibirmu. Maka segera kuhabiskan Lavazza yang masih tersisa, lalu aku bangkit berdiri untuk beranjak pergi.

Masih sangat jelas juga dalam ingatan ini. Kau mengejarku dan menarikku ke dalam pelukanmu untuk terakhir kalinya. Aku menangis di bahumu dalam rengkuhan lenganmu yang kuat, membiarkan air mata keluar sebanyak yang kuinginkan.

Entah berapa jam aku menunda kepergianku hari itu. Kita duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara, melewatkan penerbangan ke Paris hanya untuk membicarakan masa lalu.

“Mungkin sesekali aku bisa mengunjungimu ke Paris,” kau berkata di ujung pembicaraan kita.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Melihat fashion show yang kau ikuti, makan malam bersama setelahnya, minum wine sampai kau mabuk, lalu kita bisa bercinta sampai pagi.” Matamu menatapku. Sebuah senyuman menyertainya. “Seperti dulu.”

Aku tertawa. Getir. Ah, Diyan. Untuk apa semua itu jika tidak ada akhir yang bisa kita miliki? Hanya lewat tatapan sedih aku menjawab ucapanmu dan kusadari bahkan dirimu tahu yang kaukatakan itu hanya harapan kosong. There’s nothing can be done about us. Both of us were too childish. Too proud to let go our ambition. Dan karena itu, kita kehilangan cinta.
Cinta yang dulu lahir dari obrolan menemani dua cangkir Lavazza dan black coffee, yang kita temukan di dalam sebuah kafe di Gare du Nord bertahun-tahun yang lalu. Cinta yang cepat atau lambat pasti akan kita lepaskan.

Lalu kau memberiku ciuman perpisahan, membiarkan diriku tenggelam sekali lagi dalam aroma Lavazza milikmu yang memabukkan. Bibir kita berpagut lama, begitu perlahan, begitu pahit, sampai dada ini terasa sesak saat kau menarik diri.

“Mencintaimu Rera, adalah hal terindah yang pernah kualami,” adalah kata-katamu yang terakhir kudengar, kaubisikkan begitu lirih di telingaku dengan gemetaran.

Aku mengambil tiket penerbangan ke Paris yang masih bisa kudapatkan malam itu dan meninggalkanmu sekali lagi tanpa sedikit pun keraguan pada akhirnya. Kali itu, kau tidak memanggilku. Kau juga tidak lagi mencegahku.

Kali itu, semua benar-benar berakhir.

Le Rendez-Vous des Belges,” ucapku pada pertemuan pertama kita di Paris lima tahun yang lalu. ”They have great coffees. Pick me up at eight and i will show you the place.” Saat itu, di antara riuh pesta penutupan sebuah fashion show, aku jatuh cinta padamu, Diyan.


Jakarta, 1 Agustus 2007
Sebuah cerita pendek yang ditulis untuk Rera. Cerita ini kemudian menjadi bagian dari novel Orange.

4 komentar:

    On 17 September 2008 pukul 13.04 Anonim mengatakan...

    Wow....menyenangkan mengetahui apa yang dibisikkan Diyan ke Rera waktu perpisahan mereka :D
    thanks buat updatenya dan sering2 dong bikin kelanjutan kisah mereka.
    i love them :D

    yep. that's what Diyan said to his dearest Rera :D
    by the way, salam kenal. terima kasih sudah mampir dan baca-baca ^_^

    gw kurang suka di bgian ini..
    bikin BT ajahh..
    ngapain coba diyan ngejar si rera..
    hahaXD

    but basicly your novel is a great novel!
    i love it much!
    :)

    bgian terkeren mnurut gw,, bgian terakhir yg diyan mutusin pegi ke hongkong :)
    great decision and happy ending :

    hai Felie... thanks sudah baca Orange dan mampir ke sini. aku justru paling suka bagian Orange yang tertuang dalam cerpen di atas :D *penggemar Diyan dan Rera*

    tapi ngomong-ngomong Diyan mengejar Faye ke HK, aku suka isi surat Faye :D

Blogger Templates by Blog Forum